Tanya Mang Google

Jumat, 09 April 2010

Selebriti di Panggung Politik

Sumber http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=53851
By redaksi
Jumat, 09-April-2010

Munculnya artis seksi Julia Peres alias Jupe, dalam bursa calon Bupati Pacitan, kembali mencuatkan fenomena hadirnya kaum selebriti dari panggung hiburan dengan berbagai performanya sebagai pasangan calon pemimpin di sejumlah pilkada.

Thomas Koten
Dan fenomena ini seolah mencerahkan wajah politik Indonesia kontemporer yang semakin memapankan fenomena politik popularitas atau politik pencitraan.
Dalam politik pencitraan, sebenarnya yang dijual ke publik adalah pesona dan performa pribadi politisi, bukan menawarkan program dan ide-ide jenial yang menjadi substansi dalam upaya pemasaran politik demi mendulang suara. Maka, panggung politik Indonesia menjelma menjadi politik selebriti. Dalam politik selebriti, dunia politik dan dunia hiburan menyatu dan menyenyawa-menyediakan panggung simbolis yang memproduksi dan mengonstruksi tindakan politik para aktor yang ada di dalamnya.
Memang, dalam kehidupan demokratik di tengah sistem politik multipartai saat ini, politik pencitraan dapat menjadi sebuah fenomena yang menguntungkan. Dalam pertarungan kehidupan politik yang semakin keras di mana “pasar politik” yang begitu terbuka, hukum alam politik menegaskan, mereka yang citranya laku dijual dalam pasar politik dapat secara nyata menaikkan popularitas partai.

Politisasi selebriti
Jika disimak, politik selebriti hakikatnya bukan hal baru di negeri ini. Ia sudah menggejala sebelum bendera reformasi dikibarkan. Dalam beberapa pemilu terakhir di era Orde Baru, sejumlah selebriti populer dimanfaatkan sebagai pendukung partai politik. Dengan bermodalkan keunggulan sebagai pesohor, seperti popularitas, pengultusan para penggemar, penguasaan media massa, jaringan pertemanan yang luas, kemampuan komunikasi publik yang cukup, kaum selebriti dimanfaatkan oleh parpol sebagai market pendulang suara. Sejumlah kecil di antara mereka lalu duduk di lembaga-lembaga legislatif, termasuk mekanisme pengangkatan untuk MPR.
Di era reformasi, politik selebriti menguat. Fenomena selebriti di panggung politik pun menegas. Para selebriti yang sebelumnya hanya dijadikan political marketing oleh parpol, berkembang menjadi petarung politik. Berbagai kursi empuk di lembaga legislatif telah berhasil direbut. Bahkan, berbagai jabatan formal sebagai kepala daerah menjadi incaran. Selain Dede Yusuf yang telah berhasil menempati singgasana dua Propinsi Jawa Barat sebagai wakil gubernur, sebelumnya aktor populer Rano Karno sukses menjadi orang nomor dua di Kabupaten Tangerang. Hanya saja, nasib baik yang dialami kedua aktor itu tidak dialami oleh Mariza Haque dalam pencalonannya sebagai wakil gubernur Propinsi Banten dalam Pilkada 2007. Kini mencuat lagi sejumlah selebriti di panggung politik seperti Ayu Azahari sebagai calon wakil bupati Sukabumi, dan Jupe sebagai calon Bupati Pacitan. Apa nasib kedua selebriti ini di ujung cerita, belum ada yang tahu.
Perkembangan lain adalah para politisi pun berebut masuk ke dalam dunia selebriti dengan bernyanyi, menciptakan lagu, membuat album rekaman dan bergaul dengan kalangan dunia hiburan. Mereka melakukan politik pengemasan diri, pemolesan citra atau personal branding melalui industri hiburan. Salah satu contoh adalah politik tebar pesona ala Presiden Yudhoyono yang meluncurkan album Rinduku Padamu, 28 Oktober 2007 lalu. Dalam album perdana yang diproduksi The One Production itu, Yudhoyono menulis 10 lagu dalam rentang waktu April 2006- Oktober 2007. Meski timnya pada waktu itu berupaya meyakinkan publik bahwa peluncuran album tersebut murni komersial, tidak dapat disangkal album tersebut juga bagian dari political marketing Yudhoyono waktu itu yang dinilai gemar tebar pesona.
Karena itu, muncullah semacam fenomena menguatkan konvergensi di ranah politik pencitraan antara panggung politik dan panggung hiburan. Sebuah fenomena yang disebut “politisi di kalangan selebriti” mulai menguat dan ‘selebritisasi di kalangan politisi” pun menegas. Para selebriti menjadikan panggung politik sebagai medium pengaktualisasian bakat-bakat politiknya, dan para politisi kerap juga menjadikan panggung hiburan sebagai market-publisitas diri, lahan merebut simpatik publik atau merengkuh hati rakyat.
Bagaimana kita menanggapi fenomena ini? Hal itu dianggap lumrah dan menjadi perhatian bagi para komunikator politik di tengah terjadinya massifikasi industri hiburan yang diperkuat oleh alam demokrasi dan dukungan industri media massa cetak dan elektronik. Sehingga, salah satu keunggulan dalam berpolitik di era modern ini juga ditentukan oleh sejauh mana sang politisi sanggup memanfaatkan terpaan arus media komunikasi yang mampu mengonstruksi realitas simbolik yang terproduksi menjadi realitas obyektif dalam pemahaman publik, dus menggandeng para selebriti untuk mengisi ruang publik demi pemenuhan selera politik sebagian warga.

Landasan
substansi politik

Yang menjadi persoalan adalah tatkala politik pencitraan begitu diutamakan, dan mengabaikan pengembangan politik secara substansial. Maka yang terjadi adalah politik yang hanya tebar pesona. Politik tebar pesona semata, tidak berarti apa-apa bagi rakyat. Sebab, ia jauh dari etika politik. Etika tertinggi dalam politik adalah menyejahterakan rakyat, bukan tampilan politik yang hanya sekadar menghibur rakyat. Politik menyejahterakan rakyat adalah pengimplementasian program yang menjadi landasan substansial dalam kerja politik, bukan sekadar jual pesona dan citra diri, ibarat seorang peragawan yang hanya jual tampang.
Itulah celakanya, misalnya suatu negara yang mempunyai pemimpin yang memiliki pesona yang menawan bak selebriti, tetapi minus program dan atau tidak memiliki kemampuan untuk mengimplementasikan program-programnya. Lebih celaka lagi jika rakyat memiliki pemimpinnya hanya melihatnya dari sisi pesona dan performanya saja tanpa melihat kemampuannya dalam memimpin. Bagaimana dengan nasib bangsa ini kalau demikian adanya?
Karena itu, yang diharapkan adalah para politisi baik dari kalangan selebriti maupun dari kalangan politisi yang gemar mengemas politik pencitraan di panggung hiburan, tidak sekadar menjual pesona diri, tetapi harus juga menyajikan tawaran-tawaran politik yang substansial dengan sejumlah program konkret dan sanggup mengimplementasikan program-program konkret yang ditawarkannya demi menciptakan kesejahteraan rakyat sebagai implementasi etika politik.

Direktur Social Development Center

Tidak ada komentar:

Posting Komentar