Tanya Mang Google

Minggu, 02 Mei 2010

Kisah Hidup Pencipta Lagu Hymne Guru "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa"


Curhat Pak Guru Sartono

Sartono (GATRA/Arif Sudjatmiko)NAMA saya singkat saja, Sartono. Saya lahir tujuh puluh tahun yang lalu di "kota brem", Madiun (1936). Saya pencipta hymne guru, Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, yang selalu dinyanyikan setiap peringatan Hari Pendidikan Nasional. Anda mungkin tahu lagu itu, atau bahkan hafal? Ya, sayalah penciptanya.

Pada tahun 1980, ketika Depdiknas (dulu Depdikbud) pimpinan Pak Daoed Joesoef mengadakan lomba cipta lagu untuk guru, saya iseng-iseng ikut. Konon, Pak Daoed terinsipirasi oleh sebuah lagu yang dikumandangkan pada acara wisuda di almamaternya, Universitas Sorbonne, Prancis. Seluruh hadirin berdiri menyanyikan lagu yang dikhususkan untuk mengenang jasa para guru.

Tapi entahlah, saya tidak tahu persis. Yang jelas, ketika mendengar ada lomba itu, saya tergerak ikut. Kebetulan saya adalah guru kesenian di SLTP Kristen Santo Bernardus, Madiun. Untuk membuat lagu Pahlawan Tanpa Tanda Jasa itu saya hanya butuh waktu kurang lebih lima hari. Tak ada kesulitan yang berarti. Lagu itu sengaja saya desain untuk semua umur.

Ternyata, dari 300 lebih peserta yang ikut, karya saya terpilih sebagai juara. Syukur kepada Tuhan. Saya akhirnya menerima hadiah uang tunai sebesar Rp 750.000. Juga kesempatan pelesir ke Jepang.

Yang membuat saya heran sampai sekarang, hadiah untuk Juara I adalah uang tunai sebesar Rp 1 juta. Tapi kenapa kok saya hanya dapat Rp 750.000? Sekali lagi, saya tidak tahu. Sudah untung saya dapat uang. Mungkin uang hadiah itu masih harus dipotong pajak atau tetek bengek lainnya.

Selanjutnya, daripada hilang tidak berbekas, uang hadiah itu saya belikan "BMW". Keren kan? Jangan salah sangka dulu. "BMW" di sini bukan mobil mahal buatan Jerman. "BMW" hanyalah singkatan dari "Bebek Merah Warnanya" alias sepeda motor Yamaha yang saya beli dengan harga Rp 600.000. Sampai sekarang ia masih bagus dan setia mengantarkan saya, ke mana pun saya pergi.

Tahun 2000, saya pensiun dari guru dengan status terakhir "GTT" (Guru Tidak Tetap). Tentu saja tidak ada uang pensiun seperti guru PNS. Untuk makan dan hidup sehari-hari, saya mengandalkan penghasilan istri dan kerabat saya. Saya beruntung punya istri seperti Damiyati. Ia guru SDN Klegen 5, Madiun, dan sudah menjadi PNS. Saya sangat mencintainya.

Sampai sekarang, saya tidak pernah menerima santunan dari pemerintah. Apalagi dari royalti lagu. Memang benar saya menerima banyak penghargaan, baik dari pemerintah maupun swasta. Kalau dihitung, jumlahnya lebih dari 50 lembar. Jika ditempel di dinding tripleks rumah saya, pasti tidak cukup. Tapi itu hanya lembaran kertas. Tidak ada santunannya.

Namun saya juga tidak mau meminta-minta kepada pemerintah agar diberi santunan pensiun layaknya PNS. Saya ini bukan orang yang berharap melebihi batas kewajaran. Lebih baik saya tidak dapat apa-apa daripada dapat uang sepeser, tapi kehormatan dan harga diri hancur.

Hidup ini terus berjalan. Meski saya hanya pensiunan GTT, saya tetap seorang guru dan seniman. Hidup saya dari situ. Saya tidak ingin hidup tergantung dari pemberian orang lain. Untuk itu, saya sering memberi les kesenian, membuat lagu-lagu pesanan orang, atau kadang ikut pentas nyanyi keroncong.

Ya, mungkin nasib saya tidak semujur lagu ciptaan saya. Nama saya juga mungkin tidak seterkenal lagu saya. Nggak apa-apa. Saya tidak mau berkeluh kesah untuk hal itu. Mungkin ini sudah nasib. Saya legowo. Setiap kali mendengar lagu saya dinyanyikan, saya senang, bangga, dan terharu. Rupanya lagu saya masih ada yang menyanyikan...

Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru... Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku... Semua baktimu akan kuukir didalam hatiku...S`bagai prasasti t`rima kasihku `tuk pengabdianmu....Engkau sebagai pelita dalam kegelapan..Engkau patriot pahlawan bangsa..Tanpa tanda jasa...

GATRA (Dok. GATRA)

Rumah Sartono sangat sederhana. Hampir semua dindingnya terbuat dari kayu papan warna hijau. Ketika Gatra mengunjungi rumahnya di Jl. Halmahera No. 98 Madiun, Sartono terlihat sumringah. Semangat mengajar dan seninya tak pernah pudar, meski tak punya penghasilan tetap. Bahkan, anehnya, ia dan istri justru kerap membantu rekan-rekan sesama seniman yang kesulitan ekonomi.

"Hidup ini," kata Sartono, "nrimo ing pandum. Kita harus menerima apa saja yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa. Biar tidak selalu kemrungsung."

Luqman Hakim Arifin, dan Arif Sudjatmiko (Madiun)
[Pendidikan, Gatra Nomor 27 Beredar Senin, 15 Mei 2006]